wasthmedia.com | KH Zainul Arifin Pohan, seorang tokoh Nahdliyin, merupakan sosok penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, beliau dijuluki sebagai “sang panglima santri” karena perannya yang sangat berarti dalam membentuk pasukan semi militer bernama Hizbullah.
Zainul Arifin lahir dari pasangan Raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku, dengan bangsawan Siti Baiyah br. Nasution. Setelah orang tuanya bercerai, Zainul dibawa ibunya pindah ke Kotanopan dan kemudian ke Kerinci, Jambi. Di sana, ia menyelesaikan pendidikan sekolahnya di Hollandsch-Indlandsche School (HIS) pada zaman penjajahan Belanda. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan sekolah menengah calon guru di Normal School, dan memperdalam ilmu agama di madrasah serta seni bela diri pencak silat. Zainul juga memiliki minat pada seni, terlibat dalam kegiatan sandiwara musikal Melayu bernama Stambul Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain biola. Pada usia 16 tahun, ia merantau ke Batavia.
Di Batavia, Zainul Arifin bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente) sebagai pegawai Perusahaan Air Minum (PAM) di Jakarta Pusat selama lima tahun, sebelum dipecat saat resesi global yang bermula di Amerika Serikat dan berdampak sampai ke Hindia Belanda. Setelah itu, ia menjadi seorang guru sekolah dasar dan mendirikan balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis atau Jatinegara.
Pada tanggal 24 April 1934, Zainul Arifin bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), organisasi pemuda yang terkait dengan Nahdlatul Ulama (NU). Selama menjadi anggota GP Ansor, beliau meningkatkan pengetahuan agama dan kemampuan berdakwahnya, bahkan menjadi mubaligh muda yang menyampaikan ilmu agama. Kecakapannya dalam berdakwah menarik perhatian para tokoh NU, seperti Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah Ubaid.
Dalam waktu singkat, Zainul Arifin dipercaya menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan Kemudian menjadi Ketua Majelis Konsul NU Batavia sebelum tentara Jepang datang pada tahun 1942.
Selama masa pendudukan Jepang, Zainul Arifin mewakili NU dalam mengurus Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer bernama Hizbullah. Hizbullah (Tentara Allah) dibentuk oleh pemuda Islam untuk membela bangsa dan mendapatkan kesempatan dari Jepang untuk aktif terlibat dalam pemerintahan. Zainul ditugaskan membentuk kepengurusan tonarigumi, tentara Kekaisaran Jepang, dan cikal bakal Rukun Tetangga di Jatinegara. Selain itu, ia menjadi Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusah, dekat Bogor.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Zainul Arifin mewakili Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dan masih aktif memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II. Beliau juga bergabung sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD) saat terjadi Agresi Militer Belanda II.
Zainul Arifin meninggalkan jejak berharga dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada pemilu 1955, beliau menjadi anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR. Namun, pada 14 Mei 1962, Zainul terkena tembakan oleh seorang pemberontak DI/TII dalam upaya membunuh Presiden Soekarno dan harus menderita luka bekas tembakan selama 10 bulan. Pada 2 Maret 1962, beliau dinyatakan wafat.
KH Zainul Arifin Pohan adalah sosok inspiratif dan pahlawan nasional yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Semangat dan dedikasinya dalam membela bangsa dan agama harus terus diingat dan diapresiasi oleh generasi penerus. Beliau merupakan contoh teladan yang mengajarkan tentang pentingnya semangat kebangsaan, kesetiaan pada cita-cita kemerdekaan, dan cinta pada tanah air. [Tim Redaksi wasthmedia.com]