Wawasan Islam – wasthmedia.com | Mufti dalam Islam adalah sosok yang memiliki peran penting dalam memberikan panduan hukum kepada umat Islam. Namun, Syekh Ali Jum’ah, seorang ulama terkemuka, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara fatwa (pendapat hukum) dan hukum. Perbedaan ini terletak pada pemahaman terhadap realitas yang ada.
Syekh Ali Jum’ah menjelaskan perbedaan mendasar antara ahli fikih atau fakih dan seorang mufti. Seorang fakih (Ahli fikih) adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang hukum Islam. Namun, seorang mufti, selain harus memiliki pengetahuan tentang hukum, juga harus memahami realitas yang ada dan memiliki kemampuan untuk menerapkan hukum sesuai dengan situasi yang bersifat relatif dan dinamis.
Seorang mufti diharapkan memiliki tiga kemampuan kunci:
- Pengetahuan tentang Hukum Allah: Mufti harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits.
- Pengetahuan tentang Realitas: Selain hukum-hukum tersebut, mufti juga harus memahami realitas yang ada di masyarakat, termasuk perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.
- Kemampuan Menghubungkan Keduanya: Mufti harus mampu menghubungkan pengetahuan tentang hukum-hukum Islam dengan realitas yang dihadapi umat. Ini memungkinkan mereka untuk memberikan fatwa yang relevan dengan situasi saat ini.
Dengan ketiga kemampuan ini, seorang mufti dapat memberikan fatwa sambil mempertimbangkan maqashid syariah (tujuan hukum Islam), kemaslahatan manusia, dan ijma’ umat (kesepakatan umat Islam).
Namun, jika seorang mufti tidak memperhatikan semua faktor ini dan mengabaikan realitas yang ada, maka ia dapat dinilai sebagai mufti yang tidak kompeten atau “mufti majin.” Para ulama Islam selalu menekankan pentingnya menjauhi mufti-mufti semacam itu.
Sebagai contoh, jika seseorang membaca hukum dalam kitab klasik dan mencoba menerapkannya pada situasi yang berbeda dari masa ketika hukum itu ditetapkan, tanpa memahami perbedaan-perbedaan kontekstual, maka hal ini dapat mengarah pada kesesatan. Menurut Syekh Ali Jum’ah, kebenaran harus ditempatkan pada konteks yang sesuai.
al-Imam al-Qarafi berkata dalam kitab al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa ‘an al-Ahkam bahwa jika seseorang membaca hukum dalam kitab, semisal pendapat Imam Malik yang datang sejak 1200 tahun lalu, kemudian dia menerapkan pada masa sekarang yang berbeda dari masa Imam Malik hidup, tanpa mengetahui perbedaan yang ada pada dua masa itu, maka dia itu sesat dan menyesatkan.
Dewan Ulama Senior di al-Azhar asy-Syarif melarang orang-orang yang tidak kompeten memberikan fatwa untuk mencegah kekacauan dalam masyarakat. Namun, ini bukanlah penghinaan terhadap ulama al-Azhar. Sebaliknya, tindakan tersebut adalah upaya untuk menempatkan setiap individu pada posisi yang sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya.
Dengan pemahaman yang mendalam tentang peran mufti dalam Islam, Syekh Ali Jum’ah mengingatkan kita tentang pentingnya pengetahuan, pemahaman, dan relevansi dalam memberikan panduan hukum dalam konteks dunia yang selalu berubah.
Tim Redaksi wasthmedia.com