wasthmedia.com | Sekelumit riwayat ini akan menyingkap bagaimana seharusnya ummat Islam menghadapi kaum liberal juga para penafsir liar pengikut nafsu. Sekalipun kita yakin bahwa ajaran menyimpang pasti akan terkubur dan ditinggalkan oleh mayoritas ummat Islam, tetap saja kita waspada agar tak ada seorang pun tersesat oleh pemikiran mereka.
Imam Asy-Syafi’i berkata, ”Orang-orang menjadi bodoh dan berselisih karena mereka meninggalkan bahasa Arab dan beralih ke bahasa Aristoteles.”
Bahasa Aristoteles adalah pemikiran Yunani terkait alam metafisika dan akhlak berdasarkan akal, baik pendahuluan maupun kesimpulannya. Tidak bisa dipastikan bahwa bahasa Aristoteles khusus untuk bangsa Yunani saja, karena setiap kecenderungan dalam membahas segala sesuatu terkait metafisika dan etika yang didasarkan pada akal semata, tidak lain adalah kecenderungan Aristoteles. Inilah yang dimaksud adalah bahasa Aristoteles.Dengan demikian, bahasa Aristoteles adalah apapun pemahaman yang hanya didasarkan pada akal semata.
Upaya pertama dari jenis pemikiran seperti ini sudah terjadi di era pertama Islam ketika sebagian orang membahas takdir berdasarkan akal, lalu Rasulullah SAW melarangnya secara tegas.
Terjadi pada era Sayyidina Umar, ketika Shabigh mencoba untuk membahas sejumlah persoalan agama hanya mengandalkan akal semata dalam berdebat dan berdiskusi, lalu Amirul Mukminin Umar memukulnya dengan tandan kurma hingga darah mengucur dari kepalanya. Seiring mengalirnya darah dari kepalanya, hilang pula semua bisikan dan pikiran-pikiran tentang hal ini. (Al-Islam wal aql Dr Abdul Halim Mahmud)
Upaya sektarian pertama yang terorganisir dengan baik untuk memasukkan upaya-upaya manusia ke dalam lingkup wahyu adalah upaya kelompok mu’tazilah yang dilakukan Washil bin Atha, Amr bin Ubaid, dan siapapun yang mengikuti jejak keduanya. Upaya ini jelas sekali didasarkan pada perilaku manusiawi yang melampaui ambang batas dan dominasi hawa nafsu. Ketika upaya ini nampak dalam bentuk kamuflase, manusia menilai amalan tersebut demi kepentingan agama, persis seperti yang Allah singgung dalam firman-Nya;
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ فَرَءَاهُ حَسَنٗاۖ فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۖ َ
“Maka apakah pantas orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruk-nya, lalu menganggap baik perbuatannya itu? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Fathir: 8)
Teladan kita adalah Nabi, sahabat, ahlul bait dan salaf dalam menerima nash yang jelas, bukan penafsir liar tanpa kaidah yang berani membenturkan tanduknya pada gunung yang kokoh aqidah Aswaja. Semoga kemunculan mereka hanya mencari sensasi, *rajulun la yadri wala yadri annahu la yadri* sedang caper.
Oleh: Habib Muhammad Vad’aq [05 November 2022]